Tentang PAK RADEN "Hidup Terabaikan Mati Di Kenang"

Suyadi adalah seniman serba bisa dan bukan sekedar sosok yang menyuarakan suara Pak Raden dalam film boneka Si Unyil di TVRI di tahun 80-an.

Ketika malam bertambah larut, saat undangan dan pengunjung telah meninggalkan ruangan pameran puluhan karya sketsanya, Suyadi alias Pak Raden masih terlihat bersemangat.
Dia, dengan telaten, menjawab semua pertanyaan beberapa wartawan secara bergantian, melayani foto bersama, serta – tentu saja -- menorehkan tanda tangan kepada para penggemarnya.
Walaupun harus menggunakan kursi roda dan dipapah oleh pembantu dekatnya (ketika harus naik-turun tangga), pria kelahiran 28 November 1932 ini juga masih mampu bersuara lantang – mirip sosok Pak Raden, yang dia perankan dalam seri film boneka Si Unyil, sekian tahun silam.
"Orang itu kalau berkarya harus dimulai dengan cinta," kata Suyadi dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (25/04) malam lalu, di Gedung Bentara Budaya, Jakarta.
Selain mengenakan beskap hitam, blangkon, kumis tebal palsu, serta tongkat kayu, Suyadi menjawab pertanyaan dengan tetap berdialek khas serta intonasi kalimat ala Pak Raden.
"Dengan cinta," tegas penggemar pertunjukan wayang orang ini," apapun bisa terjadi, apapun bisa kita capai".
Hal ini dia utarakan, ketika saya menanyakan apa yang membuatnya mampu menjaga energi untuk tetap konsisten berkiprah di dunia seni rupa, selama ini.
“Kalau saya membuat sketsa, atau melukis, menggambar, kalau dilakukan dengan cinta, tidak ada kata capek,” katanya, lebih lanjut.

60 tahun berkarya

Ucapan Suyadi ini, tentu saja, bukan sekedar omong-kosong.
Perjalanan hidupnya selama sekitar 60 tahun di dunia seni adalah buktinya.
Diawali masa kanak-kanaknya, diawal tahun 40-an, yang dihabiskan dengan menggambar di halaman rumahnya (dengan menggunakan arang atau kapur), Suyadi seperti sudah menemukan dunianya.
“Tak pelak,” demikian kesaksian Prasodjo Chusnato, manajernya,”seluruh tembok dan lantai rumahnya menjadi media gambarnya.”
Seperti mudah ditebak, kegemarannya pada menggambar, akhirnya mengantar dirinya kuliah di Jurusan Seni rupa di Institut Teknologi Bandung, ITB (1952-1960).
Di sinilah, gabungan antara bakat dan hasrat, Suyadi makin terlibat secara mendalam di dunia seni.
“Tanpa cinta, tidak akan terjadi apa-apa,” tegasnya, dengan kalimat-kalimat yang tetap dengan penuh intonasi.
Semasa berstatus mahasiswa, demikian disebutkan dalam situs resmi miliknya, Suyadi sudah menghasilkan sejumlah karya seni -- berupa buku cerita anak bergambar (sebagai ilustrator dan penulis cerita) dan film pendek animasi.
Usai menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa ITB, Suyadi meneruskan belajar animasi di Perancis (1961-1965).
Tetapi ini barulah langkah awal, sebelum dia akhirnya mengarungi dunia seni yang lebih luas, yang nantinya membuat namanya tersohor -- dan, lebih penting lagi, tidak terlupakan.

Film boneka Si Unyil

Di awal tahun 80-an, sosok Pak Raden, karakter antagonis dalam serial sandiwara boneka Si Unyil (yang ditayangkan di TVRI), sangat dikenal banyak orang.
Walaupun film itu akhirnya tidak berlanjut (setelah berjalan sepuluh tahun), sosok Pak Raden terus menjadi legenda hingga sekarang, utamanya di kalangan orang-orang yang masa kanak-kanaknya pernah "dihiburnya".
Bahkan, pada masanya, ketenaran Pak Raden di layar kaca, seperti menutupi bakat dan prestasi lainnya yang dimiliki Suyadi.
Tidak banyak yang tahu bahwa mantan staf pengajar di jurusan Seni Rupa ITB (1965-1975) ini tidak sekedar ‘menyuarakan’ suara Pak Raden dalam serial boneka itu.
Lebih dari itu, menurut situs resmi miliknya, Suyadi menjalankan peran sebagai art director dalam serial itu, serta “menciptakan model bonekanya dan memasukkan sejumlah karakter baru antara lain Pak Raden, Pak Ogah, dan Bu Bariah”.
Itulah sebabnya, selain penulis cerita Kurnain Suhardiman, “kehadiran Suyadi dalam serial Si Unyil sebagai pemberi ‘nyawa’ sehingga Unyil dan kawan-kawannya masih hidup dan dicintai hingga saat ini,” kata Prasodjo Chusnato, manajer Pak Raden sejak delapan tahun lalu, yang kini sedang menyelesaikan biografi sang tokoh.

Ilham dari mana

Tetapi, bagaimana awalnya muncul sosok Pak Raden? Dalam berbagai kesempatan, Suyadi menyebut karakter tokoh antagonis itu muncul karena kebetulan.
"Waktu itu, saya rasa harus ada satu karakter antagonis dalam cerita ini. Akhirnya ya, terciptalah karakter Pak Raden ini”.
Dia kemudian menambahkan: “Dengan kumis dan alis tebal, melengkung ke atas, menandakan kegarangan orangnya".
Tentang dari mana dia mengail inspirasi tokoh-tokoh dalam serial film boneka yang legendaris, pria yang menyukai hewan peliharaan kucing ini, membuka rahasia:
“Semua yang ada di sekeliling saya, mereka mempunyai andil yang besar,” jawab Suyadi, seraya menambahkan, ilham itu juga mempengaruhi karya-karyanya di bidang seni rupa lainnya.
Dia kemudian mencontohkan, inspirasi itu bisa datang dari kehidupan di sekitar kediamannya di kawasan berpenduduk padat di sebuah gang sempit di Petamburan, tidak jauh dari kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

“Di sini (di kawasan Petamburan) tiap hari kedengaran ada anak menangis, anjing menggonggong, kucing bertengkar, ada anak-anak lelaki berkelahi… “

Menurutnya, situasi seperti itulah yang kerap memberinya ilham dalam penciptaan karakter serta cerita di balik film boneka tersebut.
“Kalau tanpa adanya manusia-manusia, atau tanpa anak-anak di sekeliling saya, saya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Suyadi, yang sampai sekarang masih acap diundang untuk mengisi acara mendongeng untuk anak-anak.
“Ilham saya itu datangnya dari manusia,” katanya lagi.

Nasib hak cipta

“Sudah jangan dibicarakan sekarang,” kata Suyadi, dengan nada agak tinggi, menangkis pertanyaan seorang wartawan, malam itu.
Jurnalis muda tersebut menanyakan upaya Suyadi memperjuangkan hak ciptanya atas boneka-boneka dalam film Si Unyil dari Perum Produksi Film Negara, PFN.
Dalam keadaan sakit dan terhimbit biaya pengobatannya, Suyadi setahun silam mempertanyakan hak ciptanya, yang kemudian melahirkan gelombang simpati dari masyarakat.
Kampanye dukungan pun digulirkan, termasuk penggalangan dana untuk membantu meringankan pengobatan penyakit osteoartritis -- penyakit degeneratif sendi – yang dideritanya.
Saat itu, seperti banyak dikutip media, Suyadi menyatakan: “Saya kehilangan hak apa pun untuk menggunakan Unyil kalau tidak izin PFN. Karena semua itu sudah milik PFN, menurut PFN. Nah, inilah yang akan saya perjuangkan.”
Namun pihak PFN saat itu bersikukuh tidak ada yang salah dengan hak cipta tersebut.
Alasannya, Suyadi disebut sudah menandatangi surat penyerahan hak cipta atas boneka-boneka dalam film si Unyil.
Walaupun Suyadi menyebut penyerahan hak cipta itu ada batas waktunya, tetapi PFN menyatakan itu tidak berbatas waktu alias selamanya.
Persoalan inilah yang ditanyakan ulang wartawan tersebut, akhir April 2013 lalu.
“Ah, itu sedang diperjuangkan hak ciptanya,” katanya, semula dengan nada diplomatis.
Namun dia kemudian buru-buru menambahkan: “Sudah jangan dibicarakan sekarang, itu menyakitkan hati”.
Sang wartawan kemudian terdiam. Membisu.

Membuat sketsa

Selain melukis, mendalang, membuat ilustrasi buku untuk anak-anak, membuat boneka, serta mendongeng, Suyadi ternyata juga rajin membuat sketsa di atas kertas.
Kepada manajernya, Prasodjo Chusnato, pria kelahiran Puger, Jember, Jatim ini, selalu ingin mengulang kebiasaan lamanya, yaitu menonton pagelaran wayang orang, sambil menggambar spontan.
Kalimat itu dia ulang, ketika saya tanya: jika dia bisa mengulang waktu, apa yang ingin dia kerjakan.
“Saya ini penggemar wayang orang. Saya ingin, aduh, saya ingin mengulang saat saya duduk di teater wayang orang yang begitu gelap, dan membuat sketsa-sketsa,” ungkapnya, mengenang kegiatannya di masa lalu itu.
“Itu saya senang sekali,” tambahnya dengan nada berbinar.
“Di dalam gelap, membuat sketsa, ada yang jadi, ada yang nggak, ada yang dibuang, itu suatu kenikmatan,” jelas Suyadi yang mengaku di masa kecil sangat dipengaruhi tokoh-tokoh kartun karya Walt Disneya serta penulis anak-anak terkenal asal Denmark, Hans Christian Andersen.

Berserakan

Dalam perjalanannya, Suyadi terus menekuni kebiasaannya membuat sketsa, tetapi tidak pernah terbersit pada dirinya untuk memamerkannya pada khalayak umum.
Di sela-sela kegiatan lainnya yang menyita waktu (termasuk ketika dia meneruskan belajar animasi di Perancis pada 1961-1965), pria yang memilih hidup membujang ini tetap menyempatkan diri untuk membuat “corat-coret”, yang sebagian dibiarkan berserakan di rumahnya.
Suatu saat, sejak ditunjuk sebagai manajernya, Prasodjo Chusnato menemukan lembaran-lembaran kertas yang penuh coretan-coretan buatan Suyadi -- utamanya karya-karya sketsa yang dia ciptakan selama kuliah di Paris, Perancis.
Dipenuhi rasa kagum atas kekuatan garis Suyadi, Chusnato kemudian mengumpulkannya, dan kemudian dia meminta izin Suyadi untuk menjadikannya dalam sebuah bundel.
“Sketsa itu seperti anak tiri, ndak laku,” jawab Suyadi, seperti ditirukan Chusnato, suatu saat.
Namun akhirnya, Chusnanto mendapat lampu hijau untuk menyusunnya, merestorasi, mengopi ulang, serta akhirnya memperbesarnya.
Semua itu memakan waktu dua tahun, sebelum akhirnya sekitar 60 sketsanya itu akhirnya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, 25 April-5 Mei 2013.

Orang Jawa di Paris

Di hari pembukaan pameran tunggal sketsa Suyadi yang diberi judul Noir at Blanc (Hitam dan Putih), para pengunjung seperti melihat sisi lain sang seniman.
Jika selama ini, karya-karya ilustrasi Suyadi dilekatkan dengan karakter Pak Raden serta dunia anak-anak (ingat buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar, dengan idiom “Ini Budi, ini ibu Budi…?” Itu adalah karya Suyadi!) , maka puluhan karya sketsanya selama di Paris menunjukkan sosok Suyadi yang “cerdik, serta nakal dan jahil…,” kata Hariadi Saptono, Direktur Eksekutif Bentara Budaya.
Pierre Labrousse, warga Perancis, penyandang gelar professor dari Institut National des Languages et Civilisations Orientales, INALCO, mengatakan, karya-karya sketsanya menunjukkan bahwa “Suyadi bukanlah sekedar tokoh Pak Raden. Suyadi adalah seorang yang berpengetahuan sangat luas di antara mereka yang telah membangun Indonesia.”
Puluhan sketsanya yang dipamerkan itu bercerita tentang pengalamannya selama sekolah di Paris (1961-1964), yang sebagian berupa peristiwa di hadapannya, atau lewat pengalaman orang lain di situasi berbeda, kata Chusnato.
“Setelah peristiwa mengendap, nempel di kepala, tadinya saya mau tulis di buku catatan, tapi saya lebih cepat menggambar,” kata Suyadi kepada Chusnato.
Bagaimana penilaian Suyadi terhadap karya-karya sketsanya?
“Ini hal-hal yang secara spontan yang saya kerjakan,” katanya, usai pembukaan pameran pada hari pertama.
“Semua yang mendatangkan perasaan emosi pada diri saya, saya tuangkan dalam bentuk sketsa,” jelas Suyadi, yang tahun lalu menerima penghargaan Ganesha Widya Jasa Utama dari ITB Bandung, karena dianggap menunjukkan prestasi penonjol sebagai pelopor Bidang industri Kreatif Klaster Animasi dan Tokoh Animator.
Menurut Chusnato, ada pengalaman yang dituangkan beberapa tahun setelah kejadian, tetapi ada pula yang dibuat puluhan tahun kemudian.

Kehidupan Bohemian

Di sela-sela pameran sketsa, saya bertanya beberapa orang untuk menanyakan komentar mereka tentang sosok Suyadi. Saya juga mengutip keterangan orang-orang di dalam buku katalog pameran.
"Saya kira dia itu seniman serba bisa," kata Direktur Bentara Budaya, Hariadi Saptono.
Bagaimana dengan kemampuannya mendongeng, atau 'kedekatannya' dengan dunia anak-anak? Tanya saya lagi.
"Dia tetap lebih sebagai perupa, karena lewat senirupa dia menggunakannya untuk media mendidik anak-anak".
Jadi, "saya kira dia itu seorang seniman".
Sementara, Chusnato Prasodjo yang selama delapan tahun terakhir ditunjuk sebagai manajernya, menggambarkannya seperti sosok sufi.
"Orang yang membutuhkan uang sesuai kebutuhannya. Sangat sufistik-lah buat saya," kata Chusnato.
Dia juga membenarkan jika ada yang menganggap Suyadi adalah seorang seniman. "Ya, dia merasa dirinya sudah kecebur, dia harus total".
Adapun Pierre Labrousse, professor dari Institut National des Languages et Civilisations Orientales, INALCO, yang mengenal Suyadi saat tinggal di Bandung, menyebutnya "menjalani kehidupan bohemian".
"Saat ini pada usia 80 tahun lebih, di tengah-tengah kertas coretan gambar, di tengah ruang yang berantakan dan di tengah kucing-kucingnya... tetap dengan semangatnya yang tak tergoyahkan... menggebu-gebu dengan gairah seperti anak muda."

Kembali melukis

"Itu terlalu dibesarkan, ya. Memang perhatian saya banyak ya. Ke musik ya, ke karawitan ya, ke pedalangan ya, ke teater ya, ke seni rupa ya, dan seterusnya, dan seterusnya," jawab Suyadi, ketika saya menanyakan totalitasnya terhadap dunia seni.
Suyadi mengakui, tidaklah gampang untuk menguasai semua bidang seni tersebut. "Orang 'kan tidak bisa melakukan semuanya dengan sempurna," katanya.
Itulah sebabnya, Suyadi akhirnya memilih salah-satu cabang seni tersebut, yang dianggapnya sesuai "kalau kata orang sombong itu paling hebat..."
Kemampuan, bakat serta hasrat Suyadi di bidang seni rupa, mendorong orang-orang dekatnya untuk membujuknya agar mau mendalami keahliannya itu.
Dorongan seperti ini dia terima, utamanya saat kegiatannya di film seri boneka Si Unyil berakhir.
"Waktu saya membuat (film boneka) Unyil, yang memang sukses, tapi banyak orang berkata, 'loh kamu itu kan tidak hanya Unyil saja, kamu 'kan menggambar juga, melukis juga'," ungkapnya, menirukan masukan orang-orang dekatnya, kala itu.
"Eh, suyadi, kamu bukan hanya Pak Raden, pendidikan kamu itu seni rupa, dan kamu itu perupa. Ayo, kembali ke asalmu," katanya lagi, mengulangi masukan dari sejumlah orang.
Itulah sebabnya, dia kemudian kembali menggelar pameran karya lukisannya pada 2012 lalu, setelah lebih dari tujuh tahun tidak melakukannya.
"Pokoknya Pak Raden jangan melupakan seni rupanya," ungkapnya, mengutip masukan dari beberapa orang yang rupanya mengenal betul keahlian dan hasrat pada dunia seni yang melekat pada sosok Suyadi, yang pada November nanti akan berusia 81 tahun.

0 comments:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com